MAKALAH
SEJARAH DEMOKRASI PARLEMENTER
DI INDONESIA
UNTUK MEMENUHI TUGAS
MATA KULIAH :
SEJARAH KONTEMPORER
DOSEN :
Drs. SOELISTIDJANTO, M.Hum
Diisusun Oleh :
Nama : Rokhim
NIM :
10140009
Fakultas/Prodi : FPIPS/Pendidikan Sejarah
Semester : V ( Lima )
YAYASAN PEMBINA PENDIDIKAN
IKIP VETERAN SEMARANG
TAHUN 2012
A.
Pendahuluan
Sistem
parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen
memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki
wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan,
yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem parlemen dapat
memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri,
yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensiil, presiden
berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer
presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
Sistem
parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif pemerintah tergantung dari dukungan secara
langsung atau tidak langsung cabang legislatif, atau parlemen,
sering dikemukakan melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang
eksekutif dan cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa
kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam sebuah republik
kepresidenan.
Sistem
parlemen dipuji, dibanding dengan sistem presidensiil, karena kefleksibilitasannya dan
tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah dia sering mengarah ke
pemerintahan yang kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan Republik Keempat
Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan kepala negara ditunjuk sebagai dengan
kekuasaan sedikit atau seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki
seorang presiden
terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala negara, memberikan keseimbangan
dalam sistem ini.
Negara
yang menganut sistem pemerintahan parlementer adalah Inggris,
Jepang,
Belanda,
Malaysia,
Singapura
dan sebagainya.
B.
Pembahasan
Demokrasi
pada masa ini dikenal dengan sebutan demokrasi parlementer. Sistem parlementer
mulai berlaku sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, yang kemudian diperkuat
dalam UUD 1945 dan UUD Sementera tahun 1950.
Dengan
demikian budaya demokrasi yang dipraktekkan dalam ketatanegaraan Indonesia
adalah sistem demokrasi parlementer, dalam budaya demokrasi ini, presiden untuk
sementara waktu dibantu oleh sebuah Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP KNIP). BP KNIP kemudian diperkuat oleh maklumat Wakil Presiden No. X,
sehingga menjadi sebuah badan yang berwenang sebagaimana lembaga negara.
Awalnya,
sistem kabinet ketika itu menggunakan sistem kabinet presidensial. Itu berarti
para menteri diangkat oleh presiden, bertanggung jawab kepada presiden, dan
diberhentikan oleh presiden. Tidak lama kemudian, sistem kabinet berubah
menjadi sistem kabinet parlemen, yang berarti para menteri bertanggung jawab
kepada DPR (Parlemen). Perubahan itu diusulkan oleh BP KNIP, yang kemudian
diterima oleh Presiden. Presiden lalu mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal
14 November 1945, yang antara lain menegaskan bahwa “tanggung jawab adalah
dalam tangan menteri”.
Pada periode ini berlaku 3 UUD yakni :
Pada periode ini berlaku 3 UUD yakni :
1.
UUD
1945, berlaku sejak tanggal 18 Agustus 1946 s/d Desember 1949.
2.
UUD
Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949
s/d 15 Agustus 1950.
3.
UUD
Sementara tahun 1950 (UUDS 1950), berlaku sejak tanggal 15 Agustus 1950 s/d 5
Juli 1959.
Pada masa
ini, budaya demokrasi kurang berjalan dengan baik. Hal itu bisa ditunjukkan
oleh kenyataan-kenyataan berupa lemahnya benih-benih demokrasi parlementer itu
sendiri, yang memberi peluang bagi dominasi partai-partai politik dan DPR; usia
kabinet masa itu tidak bertahan lama sehingga koalisi yang dibangun mudah rapuh
dan pecah, yang mengakibatkan ketidakstabilan politik nasional , para anggota
partai tergabung dalam konstituante (dibentuk berdasarkan Pemilu tahun 1955),
yang bertugas membentuk konstituante (UUD) dan dasar negara.
Pada masa
parlemen ini telah terjadi 2 kali pemilu sejak satu dasa warsa Indonesia
merdeka, yaitu pada tahun 1955.
1.
Pemilu
I, tanggal 29 Desember 1955 untuk memilih anggota parlemen (DPR).
2.
Pemilu
II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Badan Konstituante.
Pemilu
tahun 1955 yang berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 diikuti 28 parpol yaitu :
Masyumi, PNI, NU, dan PKI (4 parpol ini termasuk parpol besar), Perti,
Parkindo, Partai Katolik, PSI, PSII, Murba, dan IPKI dan yang lain partai gurem
(partai kecil).
Hasil
Pemilu tahun 1955 DPR hasil pemilu tahun 1955 berjumlah 272 orang (setiap
anggota didukung oleh 300.00 suara). Ada 4 parpol yang mendapat suara mayoritas
yaitu
- Masyumi (60 wakil)
- PNI (58 wakil)
- NU (47 wakil)
- PKI (32 wakil)
Dan kursi
yang lain tersebar di partai-partai lain.
Sekalipun
sudah ada wakil rakyat hasil pemilu, tetap saja Indonesia kurang menunjukkan
prestasi kerja yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena pada anggota
konstituante lebih mengutamakan kepentingan golongannya daripada kepentingan
nasionalnya. Karena dalam keadaan bahaya maka dikeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959.
Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer diwarnai dengan 7 masa kebinet yang berbeda
dan gagalnya konstituate membentuk UU baru. Kinerja kabinet sering ditentang
Parlemen.
1.
Kabinet Natsir (6
September 1950 - 18 April 1951).
Hasil
kerja: Indonesia jadi anggota PBB, politik Luar Negeri RI “bebas aktif”,
perundingan masalah Irian Barat.
2. Kabinet
Sukiman (26 April 1951 – 26 April 1952).
Masalah keamanan dalam negeri menghambat kinerja
kabinet. Indonesia menandatangani Mutual Security Act AS.
3. Kabinet
Wilopo (19 Maret 1952 – 2 Juni 1953).
Adanya konflik AD “peristiwa 17 Oktober 1952”, dan
peristiwa Tanjung Morawa menghambat kinerja kabinet.
4. Kabinet
Ali I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955).
Hasil kerja: suksesnya KAA, masih berlanjutnya
konflik AD dengan mundurnya A.H. Nasution.
5.
Kabinet
Burhanudin Harahap (Agustus 1955 - 3 Maret 1956).
Hasl kerja: pemilu 1955, dibubarkan Uni
Indonesia-Belanda, mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD 28 Oktober
1955.
6. Kabinet
Ali II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959). Hasil
kerja: pembentukan dewan nasional untuk menampung aspirasi rakyat, konsolidasi
daerah-daerah pemberontak, pembersihan korupsi, aturan kelautan Deklarasi
Djuanda 13 Desember 1957.
20
November 1956 sidang I, Presiden Sukarno memberi kewenangan untuk menyusun
UUD. Konstituate menghadapi tantangan
untuk bersatu merumuskan UUD baru. Terutama konflik NU-PKI-PNI menyangkut
pemberlakuan kembali UUD’45 dan pemasukan kembali butir Piagam Jakarta “dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” dalam preambule UUD’45.
Maka, diadakan sidang untuk menjawab masalah itu. Sidang 29 Mei 1959, 30 Mei
1959, 2 Juni 1959 berturut-turut tidak mencapai kuorum. Maka, 3 Juni 1959
Konstituate reses.
Pada masa
cabinet Sukiman, ada nasionalisasi ekonomi: nasionalisasi de Javasche Bank
menjadi BI sebagai bank sentral (UU No. 11 / 1953), pembentukan BNI Perpu No. 2
/ 1946 (5 Juli 1946), pemberlakuan ORI 1 Oktober 1946 (UU No. 17 / 1946).
Perubahan ekonomi juga terlihat pada masa kabinet Ali II dengan penandatanganan UU pembatalan KMB oleh Presiden Sukarno 3 Mei 1956 berakibat berpindahnya asset-aset milik pengusaha Belanda ke pengusaha pribumi.
Perubahan ekonomi juga terlihat pada masa kabinet Ali II dengan penandatanganan UU pembatalan KMB oleh Presiden Sukarno 3 Mei 1956 berakibat berpindahnya asset-aset milik pengusaha Belanda ke pengusaha pribumi.
Puncak
kebuntuan Konstituate adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Pembubaran
konstituate, berlakunya kembali UUD’45, pembentukan MPRS dan DPAS. Ini menandai
pergantian Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Presidensial.Tindak lanjut Dekrit
Presiden, 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet Kerja. Memakai sistem kabinet
Presidensial, Ir Sukarno sebagai PM.
Dalam
Demokrasi Terpimpin, semua lembaga harus berasal dari aliran NASAKOM. Presiden
Sukarno juga membentuk DPA, Front Nasional (Penpres No. 13 tahun 1959),
DEPERNAS. Dalam sidang DPA September 1959, DPA mengusulkan agar pidato
pertanggungjawaban Presiden 17 Agustus 1959 sebelumnya atas Dekrit Presiden
dijadikan GBHN dengan nama MANIPOL. Usul DPA diterima Presiden. 24 Juni 1960,
DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan dan diganti DPR-GR. Pada upacara pelantikan
anggota DPR-GR 25 Juni 1960, Ir Sukarno menegaskan tugas DPR-GR adalah
melaksanakan MANIPOL, melaksanakan Demokrasi Terpimpin, merealisasi AMPERA. Penpres
No.2 tahun 1959 menetapkan bahwa anggota MPRS ditunjuk Presiden. Kalangan
partai yang tidak setuju atas pembubaran DPR bergabung dalam Liga Demokrasi.
C.
Kesimpulan
1.
Ciri-ciri
pemerintahan parlemen yaitu:
a.
Dikepalai
oleh seorang perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sedangkan kepala negara dikepalai oleh presiden/raja.
b.
Kekuasaan
eksekutif presiden ditunjuk oleh legislatif sedangkan raja diseleksi
berdasarkan undang-undang.
c.
Perdana
menteri memiliki hak prerogratif (hak istimewa) untuk mengangkat
dan memberhentikan menteri-menteri yang memimpin departemen
dan non-departemen.
d.
Menteri-menteri
hanya bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
e.
Kekuasaan
eksekutif bertanggung jawab kepada kekuasaan legislatif.
f.
Kekuasaan
eksekutif dapat dijatuhkan oleh legislatif.
2.
Kelebihan
Sistem Pemerintahan Parlementer:
a.
Pembuat kebijakan dapat ditangani
secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan
legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu
partai atau koalisi partai.
b.
Garis tanggung jawab dalam pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan publik jelas.
c.
Adanya pengawasan yang kuat dari
parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam
menjalankan pemerintahan.
3.
Kekurangan Sistem Pemerintahan
Parlementer:
a.
Kedudukan badan eksekutif/kabinet
sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu
kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
b.
Kelangsungan kedudukan badan
eksekutif atau kabinet tidak bisa ditentukan berakhir sesuai dengan masa
jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
c.
Kabinet dapat mengendalikan
parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen
dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen
dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
d.
Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi
jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen
dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan
eksekutif lainnya.
4.
Contoh
pengaruh demokrasi Parlementer pada kehidupan Indonesia:
a.
Kehidupan
ekonomi, pada masa cabinet Sukiman, ada nasionalisasi ekonomi: nasionalisasi de
Javasche Bank menjadi BI sebagai bank sentral
b.
Kehidupan
politik, Puncak kebuntuan Konstituate adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959
D.
Daftar
Pustaka
-
id.wikipedia.org/wik didownload
23 Nopember 2012
-
oc.its.ac.id/ambilfile.php?idp=1499
didownload tanggal 27 Nopember 2012
-
Buku Sejarah Kelas XII SMA